BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 22 Maret 2011

Mengenal Sistem Akuntansi China

Repubik Cina (Taiwan), dan Meksiko merupakan Negara kapitalis, namun secara tradisional memiliki campur tangan pemerintah pusat yang kuat dan kepemilikan pemerintah terhadap industri-industri penting. System keuangan kedua negara tersebut berkembang dalam hal penetapan standard, ketentuan, dan praktik bila dibandingkan dengan Republik Ceko dan Cina. Tentu, evolusi dalam akuntansi juga terjadi di Taiwan dan Meksiko, namun tidak secepat dengan apa yang terjadi di Republik Ceko dan Cina.
SISTEM AKUNTANSI REPUBLIK RAKYAT CINA (CINA)
Sejarah akuntansi Cina berawal pada tahun 2200 SM selama masa Dinasti Hsiu,di mana akuntansi digunakan untuk mengukur kekayaan dan membandingkan pencapaian di kalangan bangsawan. Pada tahun 1949, Cina menerapkan suatu perekonomian terencana yang sangat terpusat, yang mencerminkan prinsip-prinsip Marxisme dan pola-pola yang dianut Uni Soviet sehingga sistem akuntansinya seragam berisi seluruh aturan akuntansi yang mencakup semua hal yang wajib diikuti oleh perusahaan milik Negara diseluruh Negara Cina. Pelaporan keuangan cukup sering dilakukan dan lengkap. Pelaporan keuangan menekankan neraca dan akuntansi menekankan perhitungan secara kuantitasdan perbandingan biaya dan kuantitas. Meskipun demikian, peranannya dalam pengambilan keputusan masih berada di bawah wewenang pusat.
Perekonomian Cina saat ini disebut juga perekonomian hybrid, di mana Negara mengendalikan komoditas dan industri yang strategis, sementara sector komersial dan swasta diatur oleh system berorientasi pasar. Hukum akuntansi yang diamandemen pada tahun 2000 menjelaskan prinsip-prinsip umum akuntansi dan mendefinisikan peranan pemerintah dan masalah-masalahyang memerlukan prosedur akuntansi. Dewan Negara juga telah mengeluarkan Aturan Pelaporan dan Akuntansi Keuangan bagi perusahaan (FARR-Financial Accounting and Reporting Rules for Enterprises). Pada tahun 1992, Kementrian Keuangan mengeluarkanStandar Akuntansi untuk Perusahaan Bisnis (Accounting Standards for BusinessEnterprises-ASBE ) yang berupaya mengharmonisasikan praktek domesti dan mengharmonisasikan praktek di Cina dengan praktek di Internasional.
Mengapa Produk China Lebih Murah?
Seberapa murah produk China dibanding produk Indonesia? Ketua APGAI (Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia) Poppy Dharsono mengatakan harga produk China 56 persen lebih murah.

Poppy mengatakan murahnya produk China karena didukung oleh kebijakan dan infrastruktur yang mapan. Utamanya dari segi pembiayaan perbankan misalnya, pengusaha di China bisa mendapatkan kredit dengan bunga hanya 3 persen per tahun, kondisinya berbanding terbalik dengan Indonesia.

"Kami pengusaha menengah besar dengan negosiasi bisa mendapat kredit 12 persen, sementara yang menengah kecil 15 persen. Saya juga tidak tahu, mengapa justru semakin kecil usahanya bukan dibantu malah mendapat bunga kredit lebih besar," kata Poppy usai diskusi di Gedung DPD RI, Jumat 8 Januari 2009.

Selain itu yang membuat harga produk China lebih murah adalah, fasilitas dan infastruktur yang sudah memadai. "Jalan mulus," katanya. Berbeda dengan Indonesia, biaya operasional jalan ini menjadi salah satu beban mahal, tak hanya itu keluhan BBM yang mahal, serta listrik yang 'byar-pet' juga menjadi fenomena sendiri.

Dari sisi produktifitas, kata Poppy, satu produk di Indonesia juga membutuhkan 3 tenaga kerja dibanding China.

Tak heran pelaksanaan FTA menghantui Poppy terhadap keberadaan UKM. Pasalnya data harga produk China 56 persen lebih murah itu di dapat tiga tahun lalu.

Bagaimana upah buruh di China?
Undang-undang Perburuhan China sendiri pertama kali mulai muncul sejak tahun 1995 yang memuat berbagai poin seperti: kontrak buruh dan kontrak bersama; jam kerja, istirahat dan liburan; upah; keselamatan kerja dan kesehatan; perlindungan khusus untuk wanita dan anak muda; pelatihan keterampilan; asuransi sosial dan kesejahteraan; persoalan buruh, supervisi dan inspeksi; serta tanggung jawab legal.
Masalah yang paling sering dikecam adalah rendahnya upah buruh di China.
Pasal 39 UU Perburuhan China menyatakan bahwa jam kerja buruh adalah 8 jam per hari, 44 jam per minggu dengan waktu lembur maksimum 36 jam per bulan. Dalam pasal 49, upah minimum dipatok hanya untuk menutupi kebutuhan dasar para buruh dan keluarganya, bukan untuk kebutuhan lainnya. Meski demikian, upah, jumlah jam kerja, keuntungan, kompensasi lembur, dan bonus sudah termasuk dalam upah yang dibayarkan melalui perhitungan yang rumit.
Saking rumitnya, para buruh hampir tidak mampu menjelaskan bagaimana para pimpinan perusahaan menghitung dan mempersiapkan upah mereka. Permasalahan semakin meluas ketika upah minimum ditetapkan dalam jumlah yang berbeda-beda di tiap wilayah. UU terkait jam kerja (termasuk jam lembur) juga dapat dengan mudah dimanipulasi dengan berbagai cara.
Salah satu alasan penting di balik rendahnya upah buruh di China adalah mandulnya Serikat Buruh. Sebelum reformasi ekonomi dilaksanakan di China, Partai Komunis China memegang kendali serikat buruh di China yang hanya boleh tergabung dalam satu wadah bernama ACFTU (All-China Federation of Trade Unions).
Setelah reformasi ekonomi, serikat buruh tidak lagi di bawah kontrol partai tetapi di bawah manajer. Ketua serikat buruh bahkan direkomendasikan atau diangkat oleh manajer. Struktur ini menyebabkan buruh berada di bawah kontrol pemilik modal dan memiliki posisi yang lemah. Artinya, dalam situasi konflik antara buruh dan manajer, pemilik modal akan cenderung mengalahkan buruh dan serikat buruh. Ketua serikat buruh juga akan berpihak kepada pemilik modal yang mengangkatnya (I Wibowo. 2004. Belajar dari China: Kompas hlm 195).
Lemahnya posisi serikat buruh membuat para buruh China terpaksa menerima berbagai kondisi ketidakadilan dalam berbagai hal. Terkait jam kerja, para buruh dipondokkan di asrama-asrama dan dipaksa bekerja selama 12 hingga 18 jam setiap hari. Jika buruh mengambil cuti di luar persetujuan perusahaan, buruh tersebut akan didenda dengan biaya tinggi. Dalam beberapa kasus, para buruh diikat dan dirantai untuk mencegah mereka melarikan diri.
Meski masih tergolong murah (rata-rata 0,81 dollar AS per jam), tingkat upah buruh China kini lebih tinggi daripada buruh Thailand, Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Sebagai perbandingan, rata-rata upah buruh Vietnam hanya mencapai sepertiga rata-rata upah buruh China. Tapi pemerintah Vietnam pun berbenah menaikkan upah buruhnya.
Upah minimum buruh tekstil di Vietnam kini mencapai 84 dollar AS per bulan (The Economist – 2 September 2010). Tak besar memang, tapi komitmen pemerintah Vietnam (yang berbasis partai komunis) patut diperhatikan.

Sumber : vivanews.com

0 komentar: