BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 12 Mei 2011

Stimulus Gerek Perekonomian Dunia

Sinyal yang ditunggu-tunggu akhirnya datang: angka produk domestik bruto nega-ra-negara dunia mulai mem-baik. Setelah Cina, India, Indonesia, kini PDB Jepang, Jerman, dan Prancis ikut positif. "Tak diragukan lagi, perekonomian global mulai bangkit dari resesi," kata Kenneth Rogoff, profesor di Harvard University, Amerika Serikat, Jumat dua pekan lalu.
Rogoff yang juga mantan ekonom kepala Dana Moneter Internasional (IMF) bicara mengomentari rilis pemerintah Jerman dan Prancis sehari sebelumnya. Kedua negara itu melaporkan pertumbuhan ekonomi 0,3 persen pada kuartal kedua tahun ini. Rilis itu mengejutkan. Soalnya kuartal sebelumnya GDP Prancis masih jatuh 1,3 persen dan Jerman bahkan lebih buruk lagi, turun 3,5 persen.
Dana stimulus yang luar biasa besar rupanya berada di balik perbaikan ekonomi di kedua negara itu, di sam-ping ekspor dan belanja konsumsi. Di Jerman, Konselor Angela Merkel yang akan bertarung di pemilihan umum nasional September ini mengucurkan 85 miliar euro atawa Rp 1.220 triliun. Sedangkan paket stimulus Presiden Nicolas Sarkozy di Prancis bernilai 30 miliar euro, setara Rp 431 triliun.
Program yang paling populer adalah subsidi untuk mengganti mobil. Di Jerman, setiap warga yang mencam-pakkan mobil tuanya dan membeli yang baru mendapatkan 2.500 euro (Rp 36 juta) dari pemerintah. Dampaknya luar biasa, hingga Mei lalu registrasi mobil baru di negara itu melonjak 23 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Prancis menawarkan 1.000 euro (Rp 14,4 juta) bagi warganya untuk program serupa yang akan berlangsung hingga akhir tahun ini. "Ini bukti nyata stimulus fiskal pemerintah berhasil mengangkat perekonomian," kata Nick Kounis, ahli ekonomi Fortis, lembaga keuangan asal Belgia.
Di luar Jerman dan Prancis, pertumbuhan ekonomi Uni Eropa kuartal kedua tahun ini sebenarnya masih negatif 0,1 persen-"kuartal negatif" kelima sejak krisis merebak tahun lalu. Tapi, dibandingkan dengan kuartal pertama ketika mereka jatuh hingga 2,5 persen, ini jauh lebih baik.
Itu sebabnya optimisme mulai tumbuh di Eropa. Apalagi data berbagai negara hingga akhir pekan lalu menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Kantor statistik Uni Eropa Eurostat, misalnya, melaporkan sektor manufaktur 16 negara pengguna mata uang euro beranjak pulih. Order barang yang diterima negara-negara itu meningkat 3,1 persen dibanding kuartal pertama.
Di Inggris, survei Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) menyimpulkan masyarakat yakin ekonomi akan segera membaik. Survei yang mereka namakan Business Confidence Monitor itu menggunakan responden seribu pebisnis senior. Atas dasar survei itu ICAEW lalu meramalkan pada kuartal mendatang perekonomian Inggris akan tumbuh 0,5 persen. "Resesi segera berakhir di Inggris," kata Chief Executive ICAEW Michael Izza. "Kepercayaan pelaku bisnis meningkat karena kebijakan seperti penurunan suku bunga dan pengurang-an pajak pertambahan nilai."
Suntikan dana pemerintah juga berperan besar di Asia. Setelah Cina, India, Indonesia, kini ekonomi Filipina, Thailand, dan Jepang dilaporkan membaik. GDP Filipina kuartal kedua naik 2,4 persen dan Thailand 2,3 persen.
Jepang, yang hingga kuartal pertama tahun ini masih parah dililit krisis, pada periode tiga bulanan yang kedua tumbuh 3,7 persen. Tapi banyak analis meragukan apakah ini akan bertahan. Bahkan, menurut data yang baru dirilis Jumat pekan lalu, meski ekonomi tumbuh, angka pengangguran Jepang pada Juli malah naik menjadi 5,7 persen, atau 3,59 juta orang-terburuk dalam beberapa puluh tahun terakhir. "Pertumbuh-an ini tidak alami, semata hanya karena belanja pemerintah," kata Hiroshi Watanabe, ekonom Daiwa Institute of Research.
Memang, menjelang pemilu legislatif-telah berlangsung Sabtu pekan lalu-Perdana Menteri Taro Aso, sesepuh Partai Demokrat Liberal, meluncurkan paket stimulus senilai 25 triliun yen atau sekitar Rp 2.650 triliun. Ini yang membuat perekonomian negara itu mendadak positif meski kuartal sebelumnya masih negatif 11,7 persen.
Sebenarnya, kalau bicara soal stimulus, Cina yang terbesar di Asia. Untuk mencapai target pertumbuhan 8 persen tahun ini, pemerintahan Perdana Menteri Wen Jiabao tak segan menggelontorkan dana hingga US$ 586 miliar atawa Rp 5.860 triliun. Uang itu dibelanjakan untuk proyek jalan bebas hambatan dan pekerjaan publik lain. Hasilnya, pada kuartal kedua perekonomian negara itu tumbuh 7,9 persen.
Dengan tingkat pertumbuhan yang begitu tinggi, banyak analis meyakini- Cina bisa menjadi lokomotif yang menarik dunia keluar dari krisis terparah sejak Resesi Besar 1930. Sebelum ini ada ramalan Amerika dan Inggris akan lebih dahulu keluar dari krisis, lalu menggerek perekonomian global. Nya-tanya teori itu keliru. Justru Cina dan Asia yang lebih dahulu bangkit. Perekonomian Prancis, misalnya, tumbuh antara lain karena ekspor ke Cina dan Asia meningkat masing-masing 14,2 dan lebih dari 20 persen pada kuartal kedua.
Tapi pandangan optimistis tentang Cina ditanggapi hati-hati oleh Perdana Menteri Wen Jiabao. "Perekonomian masih akan menghadapi banyak tantangan dan problem baru," ujarnya di sela kunjungan ke daerah tenggara Cina beberapa waktu lalu.
Yang juga memberikan harapan adalah Amerika. Raksasa ekonomi dunia itu mulai menunjukkan tanda-tanda membaik. Pada kuartal kedua, GDP Amerika hanya jatuh satu persen, padahal kuartal sebelumnya perekonomian mereka terkoreksi hingga 6,4 persen. "Amerika sudah berada di jalur yang tepat untuk pulih," kata Bruce Kasman, ekonom kepala JPMorgan Chase & Co., New York.
Masalahnya, lagi-lagi perbaikan ini terjadi karena stimulasi yang melibatkan uang dalam jumlah besar. Program seperti cash-for-clunkers, insentif bagi yang mengganti mobilnya dengan yang baru, dan subsidi buat warga yang baru pertama kali membeli rumah, diyakini mendorong maju industri manufaktur dan bisnis rumah di negara itu.
Makanya, di tengah arus optimisme, banyak analis ekonomi mulai ragu apakah tren positif ini akan bertahan- hingga perekonomian dunia benar-benar pulih. Nouriel Roubini, profesor dari New York University yang telah memprediksi terjadi krisis glo-bal sejak 2006, khawatir perbaikan ini cuma sementara. Ada risiko dunia kembali jatuh ke dalam krisis berikutnya. Itu karena pendorong utama perekonomian dunia kali ini adalah dana stimulus-yang direncanakan mencapai dua triliun dolar.
"Ada risiko jika nanti negara-negara hendak keluar dari kebijakan moneter dan uang longgar," tulis Roubini di Financial Times pekan lalu. Jika sti-mulus dihentikan terlalu cepat, perekonomian akan kembali ambruk. Namun jika stimulus masif dan defisit anggaran dipertahankan, inflasi akan meninggi dan tingkat bunga pinjaman jangka panjang pemerintah-pemerintah me-lonjak. Pada akhirnya ini akan menyebabkan resesi juga.
Tak aneh kini mata dunia mengarah pada pertemuan G-20 di London Jumat-Sabtu pekan ini. "Pertemuan ini akan sepenting London Summit April lalu," kata Gerard Lyons, ekonom kepala Bank Standard Chartered di London. Menurut dia, strategi untuk keluar dengan mulus dari program stimulasi akan menjadi agenda utama forum itu. Para eksekutif perbankan dunia yang bertemu di Wyoming, AS, pekan lalu sudah memberi sinyal, berharap pemerintah negara-negara G-20 nanti bersepakat untuk tak buru-buru menyetop program stimulus mereka.
Philipus Parera (Bloomberg, New York Times, Washington Post, BBC, Telegraph)

Sumber : majalah.tempointeraktif.com

0 komentar: